Template Style Suwanda Sitorus /* ---------------------------------------------- Blogger Template Style Name Template : Picture Wanda Windows Designer : Josh Peterson Author : Suwanda Sitorus Redaktur : Suwanda Sitorus Url : plus.google.com/+SuwandaSitorus/about Updated by : Blogger Team Powered by : Suwanda Sitorus This free Blogger template is licensed under the Creative Commons Attribution 3.0 License, which permits both personal and commercial use. However, to satisfy the 'attribution' clause of the license, you are required to keep the footer links which provides due credit to its authors and supporters. For more specific details about the license, you may visit the URL below: http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/ http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/deed.id ----------------------------------------------- */

Selasa, 20 Agustus 2013

RABI’AH AL-ADAWIYAH

Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).
“Pergilan kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali Iagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu” ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’ “.
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
“Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’ “.
Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.
Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kata Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak”.
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka”, sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu”.
Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam. Pada suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihatlah olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasyrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.

Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah di dalam doanya itu.
Dengan mata kepalanya sendiri si majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, barsikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
“Izinkanlah aku pergi”, Rabi’ah berkata.
Tuannya memberikan izin. Rabi’ah lalu meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju sebuah
pertapaan di mana ia untuk beberapa lama membaktikan diri kepada Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas punggung keledai. Tetapi begitu sam-
pai di tengah-tengah padang pasir, keledai itu mati.
“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu”, lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.
“Tidak! Teruskanlah perjalanan kalian”, jawab Rabi’ah. ”Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian”.
Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi‘ah seorang diri.
“Ya AlIah”, Rabi’ah berseru sambil menengadahkan kepala.
”Demikiankah caranya raja-raja memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya?. Engkau telah me-
manggilku ke rumah—Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meningalkanku sebatangkara di tengah-tengah
pada pasir ini”.
Belum lagi Rabi’ah selesai dengan kata-katanya ini, tanpa diduga-duga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakkan barang-barang-nya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya.
(Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang
dijual orang di pasar).
Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru kepada Allah:
“Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu”.
Allah berkata ke dalam hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu alam/dunia.
Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat wajah-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!”.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI RABI’AH
Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari tempat itu didapatinya bahwa jalan ke luar telah tertutup. Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaithan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahannam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat-nya bangun dan berjaga-jaga”.

ooo

Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. ”Mudah-mudahan Rabi’ah akan menyuguhkan makanan kepada kita”, mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal”.
Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawakan beberapa buah roti yang masih panas.
“Majikanku telah menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu”, si pelayan menjelaskan.
Rabi’ah menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah.
“Mungkin sekali roti-roti ini bukan untukku”, Rabi’ah berkata.
Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya, ia meminta dua potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah ia mau menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku”, kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.
“Apakah rahasia di balik semua ini?”, mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada si pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untukmu. Tetapi kemudian ketika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau menerimanya”.
Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, ’Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji—Mu itu kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalanya’. Ketika kedelapan belas potong roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian daripadanya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku”.

ooo

Pada suatu hari pelayan wanita Rabi`ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebeIah”.
“Tetapi Rabi’ah mencegah: “Telah empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu”.
Segera setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata: “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat”.
Rabi’ah tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.

ooo

Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar.
Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya; Tanpa disangka-sangka Hasan al-Bashri datang pula ke tempat itu.
Begitu melihat Rabi’ah segera ia datang menghampirinya. Tapi setelah melihat kedatangan Hasan, Binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa,
“Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang”.
“Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu”.

ooo

Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-mula Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah pertanda dari kelesuan spiritual”, ia berkata kepada Hasan. “TahanIah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa”.
Teguran itu tidak enak didengar Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah,
“Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua raka’at di atas air! “.
Rabi’ah menjawab: “Hasan, jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktianmu di tempat ramai ini, maka kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain”.
Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “Naiklah ke mari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita”.
Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian. keahlian seperti itu.
Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu”.

ooo

Pada suatu malam Hasan beserta dua tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya.
Jika ada seseorang yang bertanya: “Bagaimanakah hal seperti itu bisa terjadi?”, maka jawabanku adalah: “Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa”. jika ia kemudian menyangkal: “Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku: “Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti yang pernah dikatakan Nabi Muhammad sendiri, ’Barangsiapa yang menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian. Nabi Muhammad juga pernah berkata, ’Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari kenabian “

ooo

Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan:
“Hendaklah engkau seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini”.
“Apakah engkau menghendaki agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.
“Tali pernikahan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telaha menjadi tiada dan hanya
ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepada-Nya, bukan langsung kepada diriku sendiri”.
“Bagaimanakah engkau telah menemukan rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan.
“Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepada-Nya”, jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka tafakkur”, jawab Rabi’ah.

ooo

Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?”, tanya Rabi’ah
“Karena aku merasa pusing”, jawab lelaki itu.
“Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya Iagi.
“Tiga puluh tahun”, jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah mengenakan selubung keluh kesah”, kata Rabi’ah.

ooo

Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang empat dirham kepada seorang lelaki.
“Berikanlah kepadaku sebuah selimut”, kata Rabi’ah, “karena aku tidak mempunyai pakaian lagi”.
Lelaki itupun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna apakah yang harus kubeli?”
“Apa perduliku dengan warna?!” Rabi`ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali”.
Diambilnya keempat buah dirham perak itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.

ooo

Suatu hari di musim semi, Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru:
“Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan oleh
Sang Pencipta”.
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke mari”, Rabi’ah men-
jawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian
asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku Iagi terhadap
ciptaan-ciptaan-Nya?”.

ooo

Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan
betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong
daging itu?”, mereka bertanya. ,
“Aku tak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini karena
takut terluka”, jawab Rabi`ah.

ooo

Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak
makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat
dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi.
Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk
makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi meng-
ambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah me-
numpahkan isi mangkuk itu.
“Akan kuambilkan kendi air dan aku akan berbuka puasa”,
Rabi’ah berkata.
Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah
padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi
kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan.
Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah-
olah sebagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah yang telah Engkau per-
buat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah seruan terdengar di telinga
nya, “janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan
menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga peng-
abdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian
kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan
di dalam satu hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang
Aku menginginkan hal yang lain Hasrat-Ku dan hasratmu tidak
dapat dipadukan di dalam satu hati”.
Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah mengisahkan, “kulepas-
kan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari dalam hatiku
sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila melaku
kan shalat, maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang
terakhir”.

ooo

Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya.
Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak
dipikirkannya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala
kaum lelaki”, mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di
kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di
pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah
diangkat Allah menjadi Nabi”.
“Semua itu memang benar”, jawab Rabi’ah. “Tetapi egoisme,
memuja diri sendiri dan ucapan ’Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha
Tinggi?” tidak pernah membersit di dalam dada perempuan. Dan tak
ada seorang perempuan pun yang banci. Semua ini adalah bagian
kaum lelaki”.

ooo

Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Kepadanya ditanya-
kan apakah penyebab penyakitnya itu.
“Aku telah menatap surga”, jawab Rabi’ah, “dan Allah telah
menghukum diriku”. ’
Kemudian Hasan al-Bashri datang untuk mengunjungi Rabi’ah.
“Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka
kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberi-
kan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis”, Hasan
mengisahkan. “Aku bertanya kepadanya: ’Mengapakah engkau me-
nangis?’. ’Aku menangis karena wanita suci zaman ini’, jawabnya.
’Karena jika berkah kehadirannya tidak ada lagi, celakalah ummat
manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawat-
annya’, ia melanjutkan, ‘tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak
mau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uang
ini’ “.
Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan mem-
bujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan
dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-
Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai-
Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia
ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal
atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya?
Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu
dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar.
Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit
itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak mem-
buat hatiku lengah lagi”.

ooo

Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia bersama Shofyan
ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena me-
nyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah.
“Engkaulah yang berkata”, kataku kepada Shofyan.
’”Jika engkau berdoa”, Shofyan berkata kepada Rabi’ah,
“niscaya penderitaanmu ini akan hilang”.
Rabi’ah menjawab: “Tidak tahukah engkau siapa yang meng-
hendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”
“Ya”, Shofyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau mengetahui hal ini, menyuruhku
untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya?
Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan, Rabi’ah?”, Shofyan bertanya
pula.
“Shofyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi meng-
apa engkau bertanya ‘Apakah yang engkau inginkan?’. Demi kebesar-
an Allah”, Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya
aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di
kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga
saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya
dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu? jika
aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya,
maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang
diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya
yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jlka Tuhan sendiri mem-
berikannya”.
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah:
“Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah
yang berbicara mengenai diriku”.
“Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal:
engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-
hadits”. Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa
membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan yang
mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihi-
lah aku!”
Tetapi Rabi’ah mencela: “Tidak malukah engkau mengharapkan
kasih Allah Sedang engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?”

ooo

Malik bin Dinar berkisah sebagai berikut: Aku mengunjungi
Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah untuk minum
dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang
dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku men-
jadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang kaya”, aku berkata
kepada Rabi’ah. ”Jika engkau menghendaki sesuatu akan kuminta-
kan kepada mereka”.
“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar”, jawab
Rabi’ah. ”Bukankah“ yang menafkahi aku dan yang menafkahi
mereka adalah satu?”
“Ya”, jawabku.
”Apakah yang menafkahi orang-orang miskin itu lupa kepada
orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia
ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya
Rabi’ah.
“Tidak”, jawabku.
“Jadi”, Rabi’ah meneruskan, “karana Dia mengetahui keadaan-
ku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah yang
dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-
Nya”.

ooo

Pada suatu hari, Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan Syaqiq
al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring dalam keadaan
sakit.
, “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia
tidak tabah menangung cambukan Allah”, kata Hasan memulai pem-
bicaraan.
“Kata-katamu itu berbau egoisme”, Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq untuk mcncoba: “Seorang manusia
tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak bersyukur karena
cambukan Allah”.
“Ada yang lebih baik daripada itu”, jawab Rabi”ah.
Malik bin Dinar maju: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya
kata-katanya jika ia tidak: merasa bahagia ketika menerima cambukan
Allah?
“Masih ada yang lebih baik daripada itu”, Rabi’ah mengulangi
jawabannya.
“Jika demikian, katakanlah kepada kami”, mereka mendesak
Rabi’ah.
Maka berkatalah Rabi’ah: ”Seorang manusia tidak dapat di-
pcercaya kata-katanya jika ia tidak lupa kepada cambukan Allah,
ketika ia merenungkan-Nya”.

ooo

Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia. Rabi’ah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. jika engkau tidak mencintai dunia tentu
engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali seperti ini.
Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. jika engkau “tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, ’barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya”.

ooo

Ketika tiba saatnya Rabi’ah harus meninggalkan dunia fana’ ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu, dengan berbahagia”.
Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan,
“Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”.
Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ’Siapakah Tuhanmu?’. Aku menjawab: Pergilah kepada
Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: ’Dia antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan
sekedar menanyakan ’siapakah Tuhanmu’ kepadaku?’ “.
DOA-DOA RABI’AH
“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti,berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku”.
”Ya Allah, semua jerihpayahku dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar